mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, terlaporkan melakukan pertemuan langsung dengan Presiden Suriah, Bashar al-Assad.
Pertemuan ini berlangsung secara tertutup lokasi yang terahasiakan, dan menjadi sorotan tajam karena hubungan AS-Suriah telah lama membeku.
Trump menegaskan bahwa “sanksi terhadap Suriah telah memperburuk penderitaan rakyat biasa dan tidak efektif dalam mendorong perubahan politik.”
Trump menyerukan agar:
- Pemerintah AS meninjau ulang sanksi ekonomi terhadap Suriah.
- buka kembali jalur diplomatik dan perdagangan dengan Damaskus.
- Didorong upaya rekonsiliasi kawasan Timur Tengah melalui dialog terbuka.
Sejak 2011, AS memutuskan hubungan diplomatik dengan Suriah dan menjatuhkan berbagai sanksi ekonomi, termasuk pembekuan aset dan larangan perdagangan.
Alasan utama adalah penindasan brutal oleh rezim Assad terhadap demonstran sipil di awal konflik. Namun, lebih dari satu dekade kemudian, beberapa pihak—termasuk Trump—menilai bahwa pendekatan isolasi ini tidak membawa hasil yang terharapkan.
Langkah Trump memicu berbagai reaksi:
- Sekutu Eropa cenderung berhati-hati dan menunggu klarifikasi dari AS.
- Pemerintah AS saat ini belum memberikan komentar resmi, namun sejumlah anggota Kongres dari Partai Republik menyambut baik upaya tersebut sebagai “terobosan diplomatik”.
- Kelompok HAM menyuarakan keprihatinan atas legitimasi yang mungkin diberikan kepada rezim Assad melalui pertemuan ini.
Pertemuan antara Trump dan Assad menandai potensi babak baru dalam hubungan AS-Suriah. Apakah ini akan membuka jalan menuju rekonsiliasi atau justru memperumit dinamika geopolitik kawasan, masih menjadi tanda tanya besar.
Namun satu hal yang pasti—langkah ini telah mengguncang panggung politik internasional.