Industri pisang nasional tengah terguncang badai besar. Sebuah pabrik pengolahan pisang terbesar di kawasan Sumatera resmi mengumumkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap 5.000 pekerjanya. Keputusan ini mencuatkan kekhawatiran luas dan memaksa pemerintah menetapkan status darurat ketenagakerjaan regional.
Pabrik pisang PT Tunas Tropika Raya, yang menjadi tulang punggung ekspor pisang ke sejumlah negara Asia dan Timur Tengah, terlaporkan mengalami penurunan permintaan ekspor hingga 60% dalam enam bulan terakhir. Penurunan ini diperparah oleh:
- Persaingan harga global dari negara tetangga seperti Filipina dan Ekuador.
- Krisis logistik pasca kenaikan harga bahan bakar dan ongkos kirim.
- Serangan hama sigatoka yang memengaruhi kualitas hasil panen.
Kondisi tersebut membuat operasional perusahaan tak lagi berkelanjutan dan menyebabkan manajemen melakukan efisiensi besar-besaran.
Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, dalam konferensi pers darurat menyatakan bahwa pemerintah tengah menyiapkan tiga langkah cepat:
- Program Penempatan Kembali dan Pelatihan Ulang (Reskilling):
Pekerja terdampak akan diarahkan ke sektor lain yang tengah tumbuh, seperti agroteknologi dan logistik lokal. - Bantuan Sosial dan Subsidi Sementara:
Keluarga pekerja yang terdampak akan mendapatkan bantuan sembako dan subsidi biaya hidup selama tiga bulan ke depan. - Inspeksi Industri Agribisnis:
Pemerintah akan mengevaluasi secara menyeluruh rantai pasok dan kebijakan ekspor komoditas pertanian agar lebih tahan krisis.
PHK massal ini tak hanya berdampak pada ribuan kepala keluarga, tetapi juga ekosistem ekonomi lokal. Banyak UMKM yang bergantung pada keberadaan karyawan pabrik turut terpuruk. Penurunan daya beli sudah mulai terasa di pasar tradisional dan sektor informal sekitar kawasan industri.
Serikat pekerja menuntut keterbukaan perusahaan dan peran lebih aktif dari pemerintah daerah dalam mediasi dan penyediaan solusi jangka panjang. Sementara itu, pengamat ketenagakerjaan menilai peristiwa ini sebagai sinyal bahaya bagi industri agribisnis nasional yang belum memiliki sistem mitigasi krisis yang memadai.